Jakarta - Festival Film Indonesia (FFI) yang diselenggarakan pertama kali pada 1955 merupakan ajang apresiasi tertinggi untuk insan perfilman Tanah Air. Namun, selama perjalanannya, FFI tak pernah lepas dari kontroversi.
Lebih dari 50 tahun penyelenggaraannya, kontroversi yang terjadi seputar FFI tak jauh dari sisi penilaian pemenang. Berikut ini kontroversi-kontroversi yang terjadi selama penyelenggaraan FFI.
1. Kontroversi Pertama
Baru saja digelar untuk pertama kalinya, FFI sudah menuai kontroversi. Dewan juri ketika itu memenangkan film 'Tarmania' arahan sutradara Lilik Sudjio sebagai film terbaik.
Keputusan itu dinilai sebagian pihak kurang tepat karena ada beberapa film yang mutunya dianggap lebih baik. Akhirnya kemenangan 'Tarmania' dibatalkan dan diganti 'Lewat Djam Malam' sebagai film terbaik.
2. Tak Ada Pemenang Film Terbaik
Pada malam puncak FFI 1967, dewan juri mengumumkan tidak ada satu pun film yang dinobatkan sebagai karya terbaik. Kejadian tersebut terulang di FFI 1977.
Keputusan itu mengecewakan banyak pihak karena banyak film yang dianggap layak untuk menerima penghargaan tersebut. Salah satunya adalah film 'Si Doel Anak Modern' yang membuat Sjuman Djaya diganjar penghargaan Sutradara Terbaik.
3. Pengembalian Piala Citra
Pada tahun 2006 FFI menyatakan 'Ekskul' sebagai film terbaik dengan menyabet tiga Piala Citra. Hal itu menimbulkan protes dari seluruh sineas film yang pernah menerima penghargaan Piala Citra sebelumnya.
Sebagai bentuk protes, para sineas yang tergabung dalam Masyarakat Film Indonesia beramai-ramai mengembalikan Piala Citra yang pernah mereka dapat. Film 'Ekskul' dinilai tidak layak sebagai film terbaik, di antaranya karena adanya unsur plagiat dan melanggar hak cipta sebab menggunakan ilustrasi musik dari film-film asing yang terkenal, seperti Taegukgi, Gladiator, dan Munich. Mereka secara tegas menolak keputusan juri FFI 2006.
Gerakan itu bersambut. Berdasarkan Surat Keputusan (SK) bernomor 06/KEP/BP2N/2007 tentang Pembatalan Piala Citra Utama untuk Film Terbaik yang ditandatangani oleh Ketua BP2N Deddy Mizwar dibatalkan, termasuk Piala untuk Sutradara Terbaik yang jatuh pada Nayato Fio Nuala.
4. Piala Citra Baru
FFI 2008 untuk pertama kalinya memperkenalkan desain Piala Citra yang baru. Desain Piala Citra yang baru tersebut mencerminkan tema FFI tahun itu, yakni 'Bangkit Menuju Citra Baru'.
Menurut Deddy Mizwar, penggantian Piala Citra itu bermakna semangat agar semua pemangku kepentingan film nasional melupakan prasangka dan pertikaian masa lalu demi dunia perfilman yang lebih baik. Namun penggantian piala Citra itu justru disayangkan sejumlah sineas.
5. Dana Puluhan Miliar, Hasil Tak Maksimal
Festival Film Indonesia 2012 yang selesai digelar pada 8 Desember lalu lagi-lagi meninggalkan kekecewaan bagi sejumlah pekerja film, terutama dari kalangan muda.
Joko Anwar yang sudah menerima dua Piala Citra misalnya, menyoroti dana penyelenggaraan FFI 2012 yang kabarnya lebih dari Rp 16,2 miliar, namun tidak sebanding dengan kualitas penyelenggaraannya. Menurut sutradara 'Modus ANomali' itu, FFI sudah mulai kehilangan kredibilitasnya.
No comments:
Post a Comment