Aceh adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang diberikan kewenangan oleh pemerintah pusat untuk melaksanakan syariat Islam secara menyeluruh. Kewenangan untuk melaksanakan syariat Islam tersebut diberikan melalui serangkai Undang-Undang (UU) nasional dan Keputusan Presiden (Kepres).
Awalnya, kewenangan untuk melaksanakan Syariat Islam sekarang ini dituangkan melalui UUNo. 44 Tahun 2009, sebagai salah satu solusi untuk mengakhiri konflik berdarah yang berkepanjangan di Aceh. Muatan UU tersebut kemudian diperkuat oleh Kepres No. 11 Tahun 2003.Pemerintah Aceh berpandangan bahwa keputusan tersebut masih dianggap kurang mendukung pelaksanaaan Islam syariat Islam yang menyeluruh di bumi serambi Mekkah ini. Setelah kesepakatan damai diraih, pelaksanaan syariat Islam kemudian diperkuat oleh pemerintah Indonesia melalui UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh atau yang lebih dikenal dengan UUPA.
Untuk mengaktualisasi serangkaian UU dan Kepres yang mendukung pelaksanaan syariat Islam tersebut, pemerintah bersama-sama dengan ulama menyusun serangkai peraturan daerah, yang kemudian disebut dengan qanun. Qanun-qanun tentang syariat Islam tersebut termuat dalam Perda tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam, Qanun Tahun 2002 tentang Peradilan Islam, Aqidah, Ibadah, dan Syariat Islam, Qanun 2003 tentang Khamar, Maisir, dan Khalwat, dan 2004 tentang Pengelolaan Zakat.
Pelaksanaan syariat Islam di Aceh selalu mengacu pada Qanun-qanun tersebut. Dalam dataran realitas pelaksanaan syariat Islam sering terlihat hanya pada permasalahan etika berpakaian, khalwat, dan mempertahankan system aqidah Ahlu Sunnah wa Jama’ah. Pelaksanaan syariat Islam di provinsi ini belum terlihat mampu dijabarkan dalam lingkup yang lebih luas semisal dalam bidang ekonomi, politik, pendidikan, HAM, dan pelayanan publik.
Menurut hemat penulis, ada beberapa kendala yang menyebabkan belum mampunya Syariat Islam di Aceh merambah pada permasalahan-permasalahan pengelolaan pemerintahan dan urusan publik. Di antara permasalahan tersebut adalah:
1. Syariat dijalankan dengan “cara-cara yang sekuler”
Selama ini syariat Islam dijalankan oleh satu lembaga yang tidak memiki hubungan komunikasi dan koordinasi yang kuat dengan dinas lainnya. Di lapangan, dinas ini lebih terlihat menjalankan fungsi administrasi dan fasilitasi bantuan pemerintah ke masyarakat, seperti penyaluran bantuan dana pembangunan mesjid dan atribut-atribut mesjid.
Kurangnya komunikasi dan koordinasi antar lembaga pemerintahan tersebut tidak hanya terjadi pada lembaga yang memiliki tugas dan fungsi yang jauh berbeda dengan dinas Syariat Islam, namun keadaan tersebut bahkan terjadi pada lembaga yang memiliki tugas dan fungsi yang hampir mirip seperti dinas syariat Islam dan Wilayatul Hisbah di Satpol PP, yang tidak saling tahu program kerja, aktivitas dan capaian yang dilakukan oleh dinas lainnya. Hal ini terungkap ketika penulis mengikuti pelatihan penulisan Renstra yang diselenggarakan oleh Forum Peneliti Aceh yang didanai oleh WordBank beberapa waktu lalu.
Dengan keadaan yang demikian, seolah-olah syariat Islam hanyalah menjadi urusan dinas syariat Islam atau WH dan tengku-tengku dayah.Urusan syariat Islam terpisah dari urusan pembangunan manusia dan non-manusia yang diselenggarakan oleh pemerintah Aceh.Hemat penulis, hal ini terjadi karena dinas syariat Islam dibatasi kewenangan hanya pada permasalahan-permasalahan syariat yang dimaknai secara sempit.Sehingga wajar sekali bila pelaksanaan syariat Islam di Aceh berjalan di tempat dan hanya berkutit pada permasalahan khalwat, etika berpakaian, klaim aliran sesat selain aliran Ahlu sunnah wal jama’ah dan permasalahan-permasalahan individu lainnya.
2. Terlalu banyak dinas untuk mengurusi permasalahan agama.
Dengan dilaksanakannya syariat Islam di Aceh, praktis bertambahnya dinas untuk menjamin pelaksanaannya tersebut.Awalnya hanya adalah 1 dinas yang ditambah yaitu dinas syariat Islam dimana WH merupakan bagian yang tidak terpisahkan darinya.Kemudian disusul dengan pembentukan Mahkamah Syari’iyah.Pada masa Pemerintahan Irwandi, WH dileburkan ke dalam bagian satpol PP. sehingga permasalsahan syariat Islam ditangani oleh minimalnya 2 lembaga; dinas syariat Islam, berfungsi melahirkan Qanun dan “administrasi keagamaan”, dan satpol PP/WH berfungsi sebagai pengontrol dan pelaksana lapangan. Ini belum termasuk Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dan organisasi-organisasi tengku activist seperti HUDA dan MUNA, serta Kementerian Agama wilayah Aceh.
Secara legal struktural, terdapat 4 lembaga yang mengurusi hal yang sama dan memiliki fungsi yang hampir sama; MPU, Dinas Syariat Islam, WH, dan Kementerian Agama. Kesemuanya memiliki kemiripan tugas dan fungsi, kecuali Kementerian Agama yang memiliki fungsi yang agak berbeda sebagai perpanjang-tanganan Jakarta untuk urusan agama dan pendidikan agama di Aceh.
Idealnya, dengan banyaknya lembaga yang menanggani masalah umat muslim Aceh, maka semakin baik pula pelaksanaan syariat Islam. Namun, ternyata semakin banyak lembaga pemerintahan yang menanggani urusan tersebut, pelaksanaan syariat Islam menjadi semakin rumit.Hal ini barangkali terjadi karena adanya ego sektoral, dimana masing-masing lembaga ingin tampil di depan sehingga mengabaikan koordinasi dan komunikasi antar lembaga. Serta dibatasinya kewenangan dinas syariat Islam sehingga membatasi intensitas pelaksanaan yang berakibat pada menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintahan.
3. Syariat Islam ditangan rakyat.
Dengan menurunnya kepercayaan masyarakat tersebut, sehingga pelaksanaan syariat Islam di Aceh sangat beragam antar satu kabupaten dan kabupaten lainnya dan satu desa dengan desa lainnya.Ketidakpercayaan dan kejenuhan terhadap kemampuan pemerintah juga mengakibatkan masyarakat untuk main hakim sendiri. Sering sekali kita membaca berita di mana pelanggar terlebih dahulu dihakimi massasebelum kemudian diserahkan ke polisi.
Hal ini ditambah “unik” dengan diberikannya kewenangan lembaga adat untuk menerapkan hukum-hukum adat terhadap pelaksanaan syariat Islam.Meskipun secara teoritis Islam mengenal dan mengakui hukum adat sebagai bagian dari pelaksanaan hukum Islam. Malah beberapa ulama sunni seperti Abu Hasan Ali Al - Mawardidalam kitab adabsangat merekomendasikan penerapan hukum adat tersebut sebagai pelengkap syariat, namun dengan kondisi sosial Aceh yang memiliki minimalnya 5 etnis, penerapan hukum menjadi sangat beragam.
Sehingga definisi keadilan di depanhukum juga menjadi sangat bervariatif, tergantung di desa mana dan etnis apa yang menerapkan hukum Islam tersebut. Sehingga Keadilan yang di dapat dari hukum Islam di Aceh menjadi tidak sama didapatkan oleh semua masyarakat Aceh. Idealnya, hukum, sebagai atribut negara untuk mengatur warganya sebagai jalan untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan kolektif, haruslahsama di seluruh provinsi ini. Sehingga, seorang warga tidak memilih-milih tempat untuk melakukan perbuatan-perbuatan buruk terhadap diri sendiri dan orang banyak dan sehingga para pendatang juga dapat bersikap sama ketika berapa di beberapa kabupaten berbeda di Aceh.
Reformasi Pelaksanaan Syariat Islam.
Bila kita merujuk pada pemikiran politik Abu Hasan Ali Al-Mawadi melalui kitab adab dan kitab Ahkam al-Suhtaniyyah (peraturan-Peraturan Kekuasaan),Al-Ghazali yang termuat dalam karyanyaIhya’‘ulum al-din kitab 14 dan 26, serta Ibn Taimiyah dalam karyanya Al-Siyasah al syari’iyyahmaka kita akan menemukan bahwa Agama membutuhkan negara (pemerintahan) untuk menjamin pelaksanaannya dan juga sebaliknya Negara harus dijalankan di atas pondasi agama untuk menjamin kesejahteraan dan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.
Untuk menjamin penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan agama, ulama mendapatkan dan memainkan peran yang sangat penting dalam pemerintahan, dimana salah satunya adalah sebagai kontrol terhadap pemerintahan, perumus dan pelaksana hukum(qadhi). Dalam dunia modern saat ini, tugas dan fungsi ulama tersebut hampir sama dengan tugas dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat dan Pengadilan.
Namun, Karena rakyat Aceh “melarang” ulama berpolitik dan juga karena lemahnya kemampuan politis para ulama, maka agak terasa sulit bagi ulama untuk duduk di DPR, sehingga jargon syariat Islam kaffah semakin sulit terwujud di Aceh. Dengan demikian, salah satu pemahaman yang mungkin terhadap pemikiran klasik tersebut untuk dunia modern adalah untuk menjamin pelaksanaan syariat Islam menyeluruh di Aceh maka lembaga pelaksana syariat Islam harus berada setingkat lebih tinggi di atas lembaga-lembaga pemerintahan lainnya atau dinas Syariat Islam harus diberikan fungsi dan tugas yang dimiliki BAPPEDA (perencanaan pembangunan), BPK (pemeriksaan/evaluasi), dan KPK (pemeriksaan dan eksekusi terhadap kesalahan-kesalahan) terhadap pembangunan Aceh untuk menjamin fungsi negara (pemerintah)dalam memberikan keamanan, kesejahteraan, keadilan dan kebahagiaan dunia akhirat bagi rakyatnya. Dengan tugas dan fungsi melingkupi fungsi dan tugas ketiga lembaga tersebut, maka diharapkan institusi syariat Islam dapat melakukan kontrol terhadap lembaga-lembaga pemerintahan lainnya, menanamkan prinsip-prinsip pemerintahan Islam yang jujur, adil, bersih, pro rakyat, tidak KKN, dan semua pekerjaan dan projek pembangunan infrastruktur dan non-infrastruktur dapat diarahkan sebagai jalan untuk meningkatkan keimanan menuju taqwa.
Lalu siapakah yang akan duduk di institusi tersebut? Disini, hemat penulis bahwa kita harus memahami makna ulama tidak hanya sebatas orang-orang yang hanya berpendidikan agama dan mengerti hukum Islam (fiqh).Ulama harus dipahami sebagai orang saleh yang mampu memahami tanda-tanda kekuasaan Allah.Tentunya tanda-tanda kekuasaan Allah tidak hanya terdapat dalam teks suci, Al-Quran.Tanda-tanda kekuasaan Allah juta terdapat pada ilmu sains, humaniora, sosial dan budaya. Sehingga, tidak mengherankan bila ulama Aceh dahulu dan dunia Islam pada umumnya adalah juga seorang penyair, ahli strategi perang dan militer, politikus (penasehat sultan dan sultanah) ahli filsafat dan tasawuf, ahli pertanian, ahli kesehatan/kedokteran, ahli perbintangan dan ahli-ahli lainnya. Dengan demikian, institusi syariat Islam Aceh sekarang harus juga diisi oleh orang saleh yang mengerti tentang ekonomi modern, hukum dan politik, pemerintahan, Informasi dan Teknologi, dan lain-lainnya.
Para ulama dan orang-orang shaleh tersebut harus diberikan kewenangan yang luas untuk membuat dan mengontrol perencanaan pembangunan Aceh, monitoring, evaluasi dan penerapan hukum(qadhi). Untuk itu, maka 4 lembaga yang telah penulis sebutkan haruslah dileburkan ke dalam satu dinas, anggap saja namanya LembagaPelaksana dan Penjamin Penerapan Syariat Islam.Semua lembaga tersebut, selain Mahkamah Syar’iyah, memungkinkan untuk dileburkan karena masih dalam kewenangan Pemerintah Aceh yang diberikan melalui UUPA. Selain lebih efektif, pemerintah Aceh juga akan mampu melakukan penghematan.
Sedangkan Kementerian Agama Wilayah Aceh, meskipun tidak dapat dileburkan karena tunduk langsung ke Jakarta, namun beberapa tugas dan fungsinya dapat dinegosiasikan untuk menjadi kewenangan dinas yang dileburkan tersebut. Seperti permasalahan pernikahan dan perceraian, pendidikan tingkat dasar sampai Menengah Atas, Kerukunan Beragama dan fungsi-fungsi lainnya.
Dengan peluburan lembaga-lembaga agama dan tugas-tugas Kementerian Agama tersebut serta diberikannya kewenangan yang lebih luas untuk menyusun perencanaan pembangunan daerah hingga melakukan monitor, evaluasi dan penerapan hukum (qadhi/hakim), maka syariat Islam di Aceh akan dapat diterapkan pada seluruh unsur kehidupan manusia yang diatur oleh pemerintah Aceh. Namun, bila pelaksanaan syariat Islam masih menjadi tugas dan fungsi dinas syariat Islam saat ini semata, maka penulis berpandangan bahwa syariat Islam hanya akan selalu berkutit pada permasalahan mesum, aliran sesat, pakaian, dan permasalahan-permasalahn personal lainnya yang cenderung lebih simbolis, dimana pelaksanaanya sangat beragam dan dilakukan oleh masyarakat tanpa mampu dikontrol pemerintah. Syariat Islam di Aceh akan sulit menjadi pengatur dan rujukan untuk meningkatkan perekonomian rakyat yang bersimpas pada peningkatan kesejahteraan, keamanaan, dan keadilan.
Wallahhu ‘alam,
No comments:
Post a Comment